Muara Enim, hainews.id – Aktivis lingkungan Kawali Sumsel mempertanyakan ketegasan Pemerintah Kabupaten Muara Enim terhadap perusahaan tambang PT Musi Prima Coal.
Dari sejumlah Bupati yang telah menjabat, menurut Ketua Kawali Sumsel Chandra Anugerah, tidak ada satupun Bupati yang mampu menyetop aktivitas perusahaan perusak lingkungan ini.
Selain sederet pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh Musi Prima Coal, terbaru kontraktor perusahaan ini yaitu PT Lematang Coal Lestari baru saja divonis denda Rp2 Miliar oleh hakim PN Muara Enim.
Perusahaan ini terbukti sengaja melakukan kegiatan pelaksanaan konstruksi prasarana sumber daya air dan nonkonstruksi pada sumber air tanpa memperoleh izin dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Dengan kata lain, merubah alur sungai tanpa izin.
“Sehingga disini kita bisa lihat bahwa siapapun pemimpin Muara Enim, termasuk yang menjabat saat ini tidak ada yang berani dengan perusahaan perusak lingkungan. Ini hal yang sangat buruk,” ujar Chandra.
Menurutnya, Bupati seharusnya dengan kewenangan yang dimiliki, bisa menyetop operasional perusahaan. Termasuk merekomendasikan untuk mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) Musi Prima Coal ataupun Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP) Lematang Coal Lestari.
Sebab status perusahaan yang merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) ini dinilai Chandra hanya mengeruk keuntungan tanpa memikirkan lingkungan dan masyarakat Muara Enim dan Sumsel pada umumnya.
“Sudah sangat layak dicabut. Tinggal Bupati serta regulator lain di Sumsel ini berani atau tidak. Karena lebih baik berdayakan perusahaan lokal daripada perusahaan asing yang bisanya hanya merusak,” kata Chandra.
Terus Beraktivitas di Tengah Sanksi
PT Musi Prima Coal telah lama menjadi sorotan, tidak hanya dalam aktivitas merusak lingkungan tetapi juga berkaitan dengan good mining practise dalam aktivitas pertambangan.
Misalnya yang paling disorot adalah temuan dari Kawali Sumsel terkait dengan mega skandal antara Musi Prima Coal, Lematang Coal Lestari dan Pembangkit Listrik GHEMMI.
Yaitu pertama, penggelembungan jumlah lapisan tanah penutup batubara, Overburden (OB). Jumlah OB yang tinggi ini, mempengaruhi biaya produksi perusahaan serta bagi hasil penjualan batubara pada negara.
Dijelaskan Chandra, terdapat perbedaan signifikan antara dokumen FS, dokumen RKAB, sampai laporan realisasi perusahaan yang pada kenyataannya diketahui oleh pihak terkait, yakni Dirjen Minerba Kementerian ESDM.
Kedua, menurut Kawali Sumsel yang harus diusut oleh aparat penegak hukum adalah upaya penimbunan pit tambang dengan Fly Ash Bottom Ash (FABA), yang merupakan limbah batubara dari PLTU PT GHEMMI di areal tambang PT MPC.
Penimbunan ini disinyalir dilakukan untuk menutupi kekurangan jumlah OB yang digelembungkan dalam dokumen yang telah disebutkan sebelumnya.
Akibat penimbunan FABA yang sudah diberikan sanksi oleh Kementerian LHK pada sekitar 2018 itu, kongkalikong antara PT GHEMMI dan PT MPC diduga meraup setidaknya sampai Rp 100 Miliar.
Sengkarut Izin Pelabuhan, Diduga Salah Prosedur, Warga Siap Aksi Besar-besaran
Dalam operasionalnya, perusahaan ini juga kerap bersinggungan dengan masyarakat di areal operasi perusahaan, seperti salah satunya terkait Rencana perusahaan, PT Musi Prima Coal (MPC) yang ingin mengaktifkan kembali pelabuhan bongkar muat batubara miliknya yang berada di Desa Dangku, Kecamatan Empat Petulai Dangku, Muara Enim.
Rencana ini mendapat protes warga karena gelombang kapal tongkang yang akan mengangkut batubara dikhawatirkan bisa menyebabkan abrasi di wilayah yang dilintasinya.
Menyikapi itu, sejumlah warga dari empat desa/kelurahan di Kota Prabumulih dan Muara Enim, Senin lalu (9/3), mengajukan protes ke pihak perusahaan, kendati tidak digubris.
Justru perusahaan saat ini dikabarkan telah mengantongi izin dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang dinilai Kawali Sumsel salah prosedur dan sasaran.
Sebab dalam surat itu disebutkan kalau perusahaan telah memenuhi persetujuan lingkungan atau izin UKL-UPL, meskipun saat ini perusahaan juga tengah mendapat sanksi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bernomor SK1502/MenLHK-PHLHK/PPSA/GKM-02/2022.
“Yang jelas kita masyarakat desa tidak pernah dilibatkan dalam proses ini, kita sudah sampaikan protes juga tidak pernah di gubris. Kalau memang diperlukan, nanti kita turun dengan massa yang banyak untuk menolak ini (pelabuhan),”ujar Zulkarnain salah satu warga. (ril)