Aktivis Dalam Perspektif dari Masa ke Masa

OPINI64 Dilihat

Oleh: M Yasin

Kata aktivis secara terminologi dalam aspek kebahasaan  merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengandung  dua pengertian yaitu orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiwa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya, atau  seseorang yang menggerakkan (demonstrasi dan sebagainya).

Sementara,  dari segi semantic dapat dapat dikatakan bahwa aktivis adalah sebutan untuk orang atau kelompok orang yang menggerakkan kegiatan dalam organisasnya untuk mencapai visi dan misi tertentu. Orang atau kelompok orang yang memiliki kepakaan social dalam realitas kehidupan, misalnya ketimpangan hukum dan keadilan, rasisme, pelayanan pubik yang buruk, diskriminasi korupsi dan lain-lain. Pergerakannya ini dilakukan untuk kepentingan Masyarakat banyak. Bukan untuk kepentigan pribadi atau kelompok.

Aktivis di Masa Orba dan Orla 

Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara kita sudah terlalu sering mendengar kata aktivis baik dalam ucapan lisan maupun tulisan. Walaupun jauh sebelumnya kata aktivis sudah ada tapi kata ini mulai populer diera menjelang reformasi dan sesudah reformasi.

Pada masa pergolakan pasca Gerakan 30 September 1966 dan menjelang keruntuhan rezim orde lama para aktivis yang tergabung dalam eksponen 66 telah menunjukkan perjuangannya dalam semangat TRITURA ( tiga tuntutan rakyat ) yaitu;
1.Bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ormas-ormasnya
2.Bubarkan Kabinet 100 menteri
3.Turunkan harga sandang pangan

Pada masa itu eksponen 66 ini terdiri dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Selanjutnya diikuti oleh kesatuan-kesatuan aksi yang lainnya seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI). Perjuangan para aktivis ini membuahkan hasil dengan runtuhnya Rezim Orde Lama (ORLA) dan berganti dengan Pemerintahan “rezim”Orde Baru (ORBA).

Pada masa pemerintahan Orde Baru, di mana semua tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk menjawab kritik dan tantangan perjuangan eskponen 66. Namun dalam perjalanannya, Rezim ORBA cenderung otoriter dan represif (ingat peristiwa MALARI 1974).

Pergerakan para aktivis diawasi dengan ketat oleh pemerintah dengan penanganan yang sangat represif dengan diterapkannya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Mahasiswa (NKK/BKK), garis perjuangan yang ditempuh oleh Mahasiswa dengan menggunakan sarana lain untuk menghalau sikap represif pemerintahan yaitu dengan berbaur dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Pergerakakn Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang dikenal dengan Organisasi Mahasiswa Cipayung,dan lain-lain.

 

Aktivis di masa Reformasi

Menjelang keruntuhan Orde Baru pada tahun 1998, berbagai peristiwa mewarnai gejolak ketidakpuasan terhadap pemerintah yang telah berkuasa selama 32 tahun di bawah pemerintahan Presiden Suharto. Aksi demonstrasi terjadi di seluruh pelosok negeri yang dilakukan oleh aktivis kampus (dosen dan mahasiswa) dan berbagai kelompok ormas yang akhirnya memaksa Presiden Suharto turun tahta.
Perjuangan para aktivis ini telah membuka cakrawala kehidupan berbangsa dan negara di era reformasi dengan visi dan harapan baru bagi bangsa Indonesia memasuki iklim demokrasi menuju Masyarakat yang adil, makmur dan Sejahtera
Adapun tujuan dari reformasi ini adalah untuk:
1. Menata kembali seluruh struktur kenegaraan, termasuk perundangan dan konstitusi yang menyimpang dari arah perjuangan dan cita-cita seluruh Masyarakat dan bangsa.
2. Melakukan perubahan secara serius dan bertahap untuk menemukan nilai-nilai baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
3. Melakukan perbaikan di segenap bidang kehidupan baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan keamanan
4. Menghapus dan menghilangkan cara-cara hidup dan kebiasaan dalam masyarakat bangsa yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan reformasi, seperti KKN, kekuasaan sewenang-wenang atau otoriter, ketidakbebasan mengeluarkan pendapat , penyimpangan, dan penyelewengan yang lainnya.

Pada masa reformasi ini aktivitas demokrasi semakin menggeliat ,sebagai bentuk dari implemantasi UUD1945 pada pasal 28 yaitu tentang kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan. Seiring dengan itu maka bermunculan orang-orang atau kelompok orang yang menyebut dirinya AKTIVIS.

Mereka ini adalah orang-orang yang memposisikan dirinya dalam berbagai organisasi kampus, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lain-lain. Organisasi yang paling banyak bermunculan adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non Governement Organisation (NGO). LSM atau NGO adalah organisasi nonpemerintah (ORNOP), tapi ia adalah organisami yang menjadi mitra pemerintah.

Menurut kamus Wikipedia Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan atauoun sekelompok orang yang secara sukarela memberikan pelayanan kepada Masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Mencermati definisi di atas artinya bahwa LSM dibentuk berdasarkan asas sukarela tanpa adanya harapan untuk memperoleh laba (nonprofit) untuk memberikan pelayanan kepada Masyarakat. Adapun yang menjadi dasar hukum berdirinya LSM adalah UUD 1945, UU nomor 8 tahun 1985, KUHPerdata pasal 1663-1664 , UU no 16 tahun 2001, permendagri nomor 57 tahun 2017.

Menurut John Clark ditinjau dari pelaksanaannya bertujuan
1.Melayani kelompok miskin marjinal
2.Mendorong dibukanya partisipasi bagi Masyarakat sebagai kontrol sosial dalam proses kebijakan
3. Mengembangkan inovasi yang bermanfaat bagi masyarakat dan melaksanakan program dalam skala kecil agar mudah dipantau pencapaiannya.

Dalam perjalanan reformasi di negeri ini, oknum-oknum yang mengatasnamakan dirinya aktivis yang berlindung dalam organisasi LSM telah melampaui TUSI dari LSM yang sesungguhnya. Pergerakan mereka lebih cendrung pada mencari-cari kesalahan kinerja pemerintah, dan kesalahan yang ditemukan dijadikan bahan untuk menakut-nakuti dan memeras.

Ini adalah bentuk premanisme gaya baru di era reformasi. Ada onum yag setiap hari berkeliling dari satu kantor ke kantor pemerintah, atau dari satu sekolah ke sekolah yang lain sekedar meminta uang makan, uang transpot dan alasan-alasan lainnya. Aktivis sepertinya sudah dijadikan sebuah profesi baru untuk mencari nafkah. Mereka seperti men-dhuafa-kan diri dengan mengabaikan Marwah cita-cita aktivis yang hakiki.

(bersambung)